Jumat, 20 Mei 2011

hidup #4 - memoir

anak itu terduduk diam. di pinggir jalan, di bawah hujan deras. di bawah lampu kota yang temaram. murung, melihat dengan tatapan nanar ke arah perempatan yang selalu ramai di siang hari. bimbang hatinya, karena tidak melihat jalan untuknya ketika beranjak dewasa. heran, karena orang-orang lain datang dan berlalu lalang sepanjang hidupnya dengan tenang, seolah-olah mereka telah memiliki jalan yang sudah ditetapkan atas nama mereka.

perlahan dalam hatinya berteriak, "mana jalan yang kau janjikan?". teriakannya tenggelam oleh laju kendaraan yang berlalu lalang, tenggelam oleh keruwetan pikiran zaman sekarang. anak itu bertanya, "kapan aku memiliki jalanku sendiri?". buntu, karena pikirannya pun tak mampu menjawab pertanyaan yang muncul di otaknya. sudah lama dirinya ingin menggugat, tapi kepada siapa dia sendiri tidak tahu. anak itu selalu berjalan sendirian, dimanapun dia berada. tidak pernah menolong dan tidak pernah tertolong. "bukankah jalan yang diberikan pada akhirnya kita sendiri yang menjalaninya?" pikir dia.

suatu waktu dia bercerita...

pernah suatu masa dia singgah di sebuah rumah, dimana tuan rumahnya begitu baik memperhatikannya. entah kenapa, anak itu pergi berlalu begitu saja. tanpa mengucapkan sepatah kata untuk sekedar berpamitan. meninggalkan si tuan rumah yang terheran-heran dan merasa dongkol. "aku memiliki jalanku sendiri" kata anak itu. tidak seorang pun peduli pada kenyataan yang sebenarnya. anak itu masih melanjutkan perjalanan sunyinya. yang mengantarkan dia pada keteguhan hati, jiwa besar, dan keikhlasan. tak seorang pun yang menyadari, karena telah tertutup mata hati orang-orang tersebut. setiap orang memandangnya sebelah mata, karena hanya ego anak itu yang dilihat mereka.

anak itu berlari, hatinya teriris. dia menangis dalam diam. dia tersenyum dalam keputusasaan. anak itu berkata, "aku sudah tidak memiliki apa-apa, kenapa mereka masih mengambil ketiadaanku?". ketika lelah, dia ingin beristirahat. tapi entah mengapa anak itu tidak pernah berhenti berjalan. "aku tidak butuh istirahat, karena dengan berjalan aku menunjukkan setidaknya aku masih hidup", kata dia dengan kepala batunya.

pada akhirnya, dia memutuskan untuk berhenti bercerita. pada akhirnya, apa yang dia yakini sudah sirna tak tersisa. pada akhirnya dia bukan siapa-siapa. anak itu tumbuh dalam ketakutan, untuk mengenal dunia, untuk berinteraksi dengan makhluk berakal dan berbudi, atau hanya sekedar mengingat bahwa dia masih ada di dunia ini. sinar di matanya sudah hilang, pupus tidak ada harapan.


hai anak, tegarlah dalam hidup..karena kau sendiri yang menjadi serigala, walaupun orang-orang menganggapmu domba..tegarlah, karena setidaknya kau masih berpijak di bumi ini, dan bekas-bekas pijakanmu secara tidak sadar telah menjadi jalanmu yang kau tanyakan..tegarlah, karena air matamu menjadi pengobat dahagamu, ketika kau lelah berjalan..

bahwa yang kau tuju sebentar lagi pasti akan sampai.......pasti.